
Sri Haryati, salah satu pedagang kaki lima (PKL) di Puncak, Bogor, Jawa Barat harus meratapi nasibnya setelah lapak jualan yang juga tempat tinggalnya digusur petugas gabungan / Foto: Dimas Yuga Pratama
Bogor, tvrijakartanews - Nasib pilu masih dirasakan Sri Haryati, salah satu pedagang kaki lima (PKL) di jalur Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat yang harus rela lapak dagangan sekaligus tempat tinggalnya dibongkar petugas gabungan, pada Senin 24 Juni 2024 kemarin.
Dia tak kuasanya menahan air matanya kala melihat ladang usahanya hancur rata dengan tanah setelah tujuh tahun menggantungkan hidup dengan berjualan.
Meski dia telah berusaha mempertahankan lapak jualannya, namun akhirnya petugas gabungan tetap meratakan tempat tersebut.
"Saya kemarin mohon mohon sedikit, jangan diabisin karena saya engga punya rumah, belum dapat kontrakan, tetep dihabisin, engga ada pri kemanusiaan, engga ada hati nurani, saya belum dapat kontrakan, pindah pindah kemana," katanya kepada tvrijakartanews.com, Selasa 25 Juni 2024.
Dengan hilangnya mata pencaharian hingga tempat tinggalnya, dia dan keluarganya pun kini bingung dimana harus mencari tempat yang baru untuk menyambung hidup.

Ia juga merasa sangat kecewa terhadap pemerintah lantaran dinilai tidak berpihak kepada rakyat kecil.
"Tega banget, saya memohon jangan dibongkar itu kamarnya, tetep dibongkar," ungkapnya.
Karena tak tahu lagi harus kemana, Sri Hayati dan suaminya kini terpaksa memilih tidur di sebuah pos yang terbuat bambu, yang tak jauh dari bekas lapaknya.
Beralaskan karpet dia atas bale bambu, ruangan sempit itu saat ini menjadi kamar sekaligus dapur bagi Sri.
"Saya tidur di pos, itu tadinya mau dibongkar, cuma suami saya menghalangi, kata saya ini mah pos karang taruna, saya mau tidur di sini sementara saya belum dapet kontrakan," jelasnya.
Meski Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor telah memberikan lokasi baru bagi para pedagang yang terdampak yaitu di rest area Gunung Mas, namun Sri masih enggan untuk menempati lokasi tersebut.
"Kalau di rest area, saya pernah jualan di sana, sabtu minggu saya sampe bergadang, engga ada kopi keluar satu gelas juga. Seperak pun demi apapun ga ada yg beli," ucapnya.
"Kalau (misal) jualan di rest area kita makan apa, anak sekolah biaya darimana, engga ada usaha lain, makanya pemerintah itu teganya sama orang begini, miskin," sambungnya.
Dia pun berharap, nantinya pemerintah bisa memberikan ruang di lokasi sebelumnya untuk kembali berjualan.

