Krisis Iklim Acaman Bagi Stabilitas Ekonomi, DBS Sebut Perlu Ada Solusi
EkonomiNewsHot
Redaktur: TVRI Jakarta Portal Team

Deputy CEO & Group Head of Institutional Banking DBS Bank Ltd. (Bank DBS) Tan Su Shan. (Humas DBS)

Jakarta, tvrijakartanews - Deputy CEO & Group Head of Institutional Banking DBS Bank Ltd. (Bank DBS) Tan Su Shan menilai krisis iklim menjadi ancaman bagi stabilitas ekonomi dan kehidupan masyarakat global. Jadi perlu adanya solusi inovatif guna mengatasinya.

"Para ilmuwan mengatakan bahwa kita memiliki 'anggaran karbon' total (jumlah emisi yang dapat kita masukkan ke atmosfer) sekitar 2.900 giga ton, untuk memiliki kesempatan membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5°C dibandingkan dengan tingkat sebelum industri," kata Tan Su Shan dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (7/9/2024).

Tan mengatakan pihaknya telah melepaskan lebih dari 2.600 giga ton ke atmosfer. Jika tidak ada tindakan signifikan.

"Dunia berisiko menghadapi suhu yang meningkat lebih dari 2°C, yang akan menimbulkan dampak buruk secara ekonomi dan social," ucapnya.

Dikatakan kerugian ekonomi akibat bencana cuaca ekstrem akan semakin meningkat, dan masyarakat yang paling rentan khususnya yang miskin, terkena dampak paling besar. Hal ini akan memperburuk kesenjangan sosial.

"Jumlah orang yang terkena dampak langsung dari bencana ini mencapai titik tertinggi baru, dengan masyarakat miskin terkena dampak yang tidak proporsional, yang memperburuk kesenjangan sosial," ujarnya.

Selain itu, Tan menambahkan Bank DBS berkomitmen untuk mendukung transisi ke ekonomi rendah karbon, dengan menekankan pentingnya energi terbarukan dan efisiensi energi.

"Pangsa energi terbarukan dalam pembangkit listrik global tercatat telah mencapai 33 persen, meningkat secara signifikan dari beberapa tahun yang lalu," tuturnya.

Tan mengaku selain meningkatkan lebih lanjut pangsa pembangkit listrik bersih, para pemangku kepentingan (stakeholders) juga perlu memastikan lebih banyak bagian dari ekonomi global yang mendapatkan aliran listrik, seperti sektor mobilitas, pemanas, dan pendingin bangunan.

"Selanjutnya efisiensi energi ditingkatkan serta sistem pangan global harus ditangani dengan baik," ungkapnya.

Kendati demikian, Tan mengakui bahwa transisi ini tidak mudah, terutama di Asia yang masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil.

"Meskipun kontribusi historis dan emisi per kapita saat ini masih tergolong moderat di Asia, jumlah penduduk dan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang sangat besar dalam beberapa tahun terakhir mencatatkan bahwa Asia kini menghasilkan 50 persen emisi dunia," pungkasnya.