Rayakan HUT Ke-52, PDIP Gelar Wayang Semalam Suntuk Lakon Kelahiran Wisanggeni
NewsHot
Redaktur: Heru Sulistyono

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto saat membuka pergelaran wayang semalam suntuk dalam rangka perayaan HUT Ke-52 PDIP..Foto M Julnis Firmansyah

Jakarta, tvrijakartanews - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menggelar pertunjukan wayang semalam suntuk di halaman Masjid At-Taufiq, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, pada Jumat malam (17/1/2025). Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto mengatakan pergelaran wayang itu merupakan arahan dari Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri.

"Ulang tahun PDI Perjuangan ini atas saran Ibu Mega menjadi gerak memperkuat akar rumput. Gerak untuk membangun fondasi kepartaian agar lebih kokoh yang menyatu dengan rakyat, apalagi di tengah-tengah vivere pericoloso," Hasto saat ditemui di lokasi.

Dalam pergelaran wayang itu, PDIP meminta dalang Ki Amar Pradopo Warseno Slank serta Ki Sri Susilo Thengkleng memainkan lakon kelahiran Wisanggeni. Ia merupakan putra Arjuna dan Batari Dresanala. Wisanggeni dikenal sebagai tokoh yang pemberani, tegas, dan memiliki kesaktian luar biasa.

Wisanggeni lahir dari hasil perkelahian antara Batara Brama dan Batari Dresanala. Batara Brama menyuruh Arjuna pulang ke dunia karena Dresanala akan dijadikan penari di kahyangan.

Ia kemudian dibuang ke Kawah Candradimuka untuk selanjut digembleng di sana menjadi kesatria. Menurut Hasto, Wisanggeni merupakan tokoh yang memiliki nilai moral tinggi, seperti keadilan, keberanian, dan kesetiaan kepada keluarga.

“Cerita Lahirnya Wisanggeni; Wisanggeni itu artinya racun api; dia menggambarkan seluruh suasana kebatinan PDI Perjuangan. Kita lahir bukan di tengah kasur empuk, tapi di tengah gemblengan sejarah. Justru di tengah gemblengan maha dashyat, hadir dalam sosok bayi yang dibuang di candradimuka, tak hilang dan lenyap, tapi tumbuh menjadi ksatria sakti yang cinta kebenaran dan setia kepada rakyat,” kata Hasto

Menurut Hasto, cerita dari Wisanggeni ini memiliki kecocokan dengan PDIP yang tengah menghadapi posisi sulit saat ini. "Ritual kehidupan melalui wayang ini juga ditampilkan sebagai momentum kritik dan autokritik melakukan refleksi, kontemplasi, atas seluruh perjalanan kepartaian PDI Perjuangan," kata dia.

Hasto juga menekankan bahwa ada teladan dan pelajaran yang bisa direfleksikan dari dua tokoh dalam lakon itu, yakni dari Wisanggeni dan Batara Narada, yang kontekstual dengan kondisi saat ini. Dari kisah itu juga, Hasto mengatakan ada beberapa pesan bagi masyarakat.

Pertama, ketidakadilan bisa terjadi seperti dirasakan oleh Dreaanala. Dunia menjadi gelap. Tetapi pada akhirnya keadilan akan datang, karena akhir kisah Wisanggeni lahir adalah Arjuna-Dresanala akhirnya bersatu dengan Wisanggeni.

“Keadilan akan mencari jalannya sendiri, karenanya kitapun meyakini Satyam Eva Jayate bekerja di dalam diri Dresanala dan Wisanggeni,” kata Hasto.

Pesan kedua adalah kesetiaan kepada tugas seperti ditunjukkan Batara Narada. Sang batara itu selalu memperjuangkan kebenaran meski harus kehilangan pangkat dan jabatan.

“Semoga kita mampu jadi Narada-Narada yang memperjuangkan kebenaran meski harus kehilangan pangkat dan jabatan, Narada tak berubah karena setia pada jalan moral dan etika,” tegas Hasto.

Pesan ketiga adalah bahwa dibalik persoalan kehidupan, kerap kali dimulai dari hal sederhana. Misalnya, bagaimana sikap cemburu dan nafsu kekuasaan memicu kekacauan.

“Maka mari kita introspeksi, dengan kritik dan otokritik, kita sadari kelemahan kita, dan memperbaiki secara organisatoris. Sehingga PDI Perjuangan di usia 52 tahun mampu menyerap nilai-nilai ini dan hadir menjadi kekuataan yang berguna bagi negeri ini,” urai Hasto.

Keempat, belajar dari Wisanggeni, bahwa jalan menjadi ksatria takkan mudah. Dibuang di kawah candradimuka, Wisanggeni bukannya menyerah namun mampu menyerapnya dan menjadikannya makin berilmu.

“Maka mari menyerap watak Wisanggeni. Jadikan ujian yang ditujukan ke kita, menjadi energi untuk menguatkan mata batin dan hati, serta semangat kita. Sehingga tidak sia-sia lah Bung Karno mendirikan PNI yang akhirnya menjadi PDI Perjuangan,” pungkas Hasto.