Mengenal Budaya dan Tradisi Tionghoa Lewat Film Layar Lebar
FeatureNewsHot
Redaktur: Citra Sandy Anastasia

Press Conference Film "Pernikahan Arwah" di Epicentrum XXI, Jakarta / foto: Sanrifa Akmalia

Jakarta, tvrijakartanews - Dalam dunia cerita fiktif, budaya sering kali menjadi jembatan yang menghubungkan masa lalu dan masa kini. Salah satu tradisi Tionghoa yang cukup unik adalah pernikahan arwah, sebuah ritual kuno yang masih dipercayai di beberapa komunitas. Tradisi ini menjadi inspirasi bagi banyak kisah, termasuk dalam film yang mengangkat nuansa horor dan mistis.

Entelekey Media Indonesia bersama Relate Films resmi merilis film horor terbaru mereka, Pernikahan Arwah (The Butterfly House). Mengangkat kisah tentang tradisi kuno Tionghoa, yaitu pernikahan arwah, film ini akan tayang di bioskop mulai 27 Februari 2025.

Dibintangi oleh Morgan Oey, Zulfa Maharani, Jourdy Pranata, Brigitta Cynthia, dan Verdi Solaiman, film ini berupaya menghadirkan pengalaman sinematik yang mendalam dengan elemen budaya yang kuat.

Mengangkat Budaya dengan Riset Mendalam

Sutradara Paul Agusta, yang baru-baru ini menggarap film bertemakan pernikahan arwah, menekankan pentingnya riset mendalam dalam menghadirkan budaya secara autentik dalam cerita. "Kami menggali berbagai sumber, termasuk buku-buku tentang budaya Tionghoa, untuk memastikan bahwa elemen yang dihadirkan bukan sekadar dekorasi, tetapi memiliki makna yang kuat dalam narasi," ujarnya dalam Press Screening film Pernikahan Arwah di Epicentrum XXI pada Kamis (20/2/25).

Lebih dari sekadar elemen latar, budaya Tionghoa dalam cerita fiktif sering kali menjadi penggerak utama cerita. Emosi seperti kehilangan, penyesalan, dan cinta yang tak tersampaikan menjadi tema universal yang bisa dirasakan siapa saja. "Semua orang pasti pernah mengalami kehilangan, dan inilah yang membuat cerita seperti ini bisa dirasakan oleh banyak orang," tambahnya.

Representasi Budaya dalam Sinema

Selain aspek cerita, pemilihan lokasi yang tepat juga berperan besar dalam merekam nuansa budaya. Lasem, Jawa Tengah, misalnya, dikenal sebagai salah satu kota yang masih mempertahankan tradisi Tionghoa yang kental. "Lasem adalah kota yang masih mempertahankan sejarah dan tradisi Tionghoa dengan sangat baik. Selain itu, aksesnya tidak terlalu sulit, sehingga cocok untuk produksi film," ungkap produser Perlita Desiani.

Dengan berkembangnya industri film dan sastra, semakin banyak kreator yang mulai mengangkat budaya lokal ke dalam karya mereka. Hal ini tidak hanya memperkaya narasi yang disajikan tetapi juga membuka jalan bagi lebih banyak cerita yang mewakili keberagaman Indonesia.

Paul Agusta berharap tren ini terus berkembang. "Saya merasa representasi budaya Tionghoa di media seni Indonesia masih sangat minim, terutama sejak era Orde Baru. Saya ingin menghadirkan cerita yang lebih kaya dan memperkenalkan keberagaman etnis di Indonesia ke layar lebar," jelasnya.

Menghidupkan kembali budaya lewat cerita fiksi bukan sekadar soal estetika, tapi juga cara untuk merawat warisan yang ada. Lewat film, novel, dan berbagai karya lainnya, budaya yang mungkin mulai terlupakan bisa kembali dikenal dan dihargai oleh generasi yang lebih muda. Pada akhirnya, kisah-kisah ini bukan hanya untuk ditonton atau dibaca, tapi juga untuk dirasakan dan dipahami lebih dalam.