
Gubernur BI Perry Warjiyo Konferensi pers di Gedung Bank Indonesia. (Tangkap layar Youtube BI)
Jakarta, tvrijakartanews - Bank Indonesia memprediksi perekonomian dunia akan melambat menjadi 2,8 persen. Pelambatan ekonomi dunia disebabkan ketidakpastian pasar keuangan yang mereda.
"Ekonomi global diperkirakan tumbuh sebesar 3,0 persen pada 2023 dan melambat menjadi 2,8 persen pada 2024," kata Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo kepada wartawan di Gedung Bank Indonesia, Rabu, (17/1/2024).
Perry mengataka saat ini ekonomi Amerika Serikat dan India tetap kuat ditopang dengan konsumsi rumah tangga dan investasi. Sedangkan ekonomi Tiongkok melambat seiring dengan tetap lemahnya konsumsi rumah tangga dan investasi.
"Sebagai dampak lanjutan dari pelemahan kinerja sektor properti, serta terbatasnya stimulus fiskal," ungkapnya.
Lebih lanjut, Perry menambahkan penurunan inflasi di negara maju, termasuk AS, berlanjut, meski masih berada di atas sasaran, sementara inflasi Tiongkok menurun dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi yang melambat.
"Saat ini, siklus kenaikan suku bunga kebijakan moneter negara maju, termasuk Fed Funds Rate (FFR), diperkirakan telah berakhir meskipun masih bertahan tinggi pada semester I-2024, dengan kemungkinan akan mulai menurun pada semester II-2024," jelasnya.
Menurutnya, Yield obligasi pemerintah negara maju, termasuk US Treasury, menurun secara gradual tapi masih berada di level tinggi sejalan dengan premi risiko jangka panjang (term-premia) terkait besarnya pembiayaan fiskal dan utang pemerintah AS. Tekanan penguatan nilai tukar dolar AS terhadap berbagai mata uang dunia juga berkurang.
"Perkembangan tersebut mendorong berlanjutnya aliran masuk modal asing dan mengurangi tekanan pelemahan nilai tukar di emerging market, termasuk Indonesia," tuturnya.
Perry menjalaskan beberapa risiko global tetap perlu dicermati karena dapat mempengaruhi ketidakpastian perekonomian dunia.
"Seperti berlanjutnya ketegangan geopolitik, pelemahan ekonomi di sejumlah negara utama, termasuk Tiongkok, serta kepastian waktu dan besarnya penurunan suku bunga moneter negara maju, khususnya FFR," imbuhnya.