Disebut Pertanyaan Recehan oleh Mahfud di Debat, Ini Pengertian Greenflation yang Diungkit Gibran
Cerdas MemilihNewsHot
Redaktur: TVRI Jakarta Portal Team

Suasana debat pilpres keempat yang digelar KPU. Foto YouTube KPU RI

Jakarta, tvrijakartanews - Isu greenflation atau inflasi hijau menjadi perbincangan di masyarakat pasca debat pilpres keempat yang digelar KPU pada Minggu malam, 21 Januari 2024. Isu tersebut sebelumnya ditanyakan cawapres nomor urut 02, Gibran Rakabuming Raka kepada cawapres nomor urut 03, Mahfud MD dalam salah satu sesi.

Mahfud MD yang awalnya tidak memahami istilah tersebut, lalu memberikan jawaban sebisa mungkin dan menghubungkannya dengan aktivitas masyarakat Madura mengolah sampah plastik menjadi memiliki nilai ekonomi. Namun, Gibran menyebut pertanyaan Menko Polhukam itu tidak tepat hingga akhirnya Mahfud menyebut isu greenflation adalah mengada-ngada dan pertanyaan receh.

Pengertian Greenflation

Menurut informasi dari laman COBS Insights yang dikutip pada Selasa, 23 Januari 2024 inflasi hijau mengacu pada kenaikan harga barang dan jasa sebagai dampak dari pergeseran ekonomi saat ini menuju ekonomi yang lebih berkelanjutan secara lingkungan atau ekonomi net-zero. Fenomena inflasi hijau muncul seiring dengan banyaknya negara, termasuk pemerintah dan sektor bisnis, yang mulai mengadopsi teknologi berkelanjutan, terutama dalam kerangka ekonomi hijau secara umum.

Inflasi hijau ini kemungkinan besar akan berlangsung dalam jangka waktu yang panjang sejalan dengan upaya global untuk memenuhi komitmen terhadap perlindungan lingkungan. Salah satu faktor yang berkontribusi pada inflasi hijau adalah permintaan yang meningkat untuk logam dasar dan mineral tertentu yang digunakan dalam teknologi berorientasi lingkungan.

Masih menurut COBS Insight, contoh greenflation terjadi pada logam-logam seperti tembaga, litium, dan kobalt yang menjadi lebih diminati karena kebutuhannya meningkat dalam teknologi berkelanjutan. Permintaan ini jauh melampaui permintaan untuk teknologi yang kurang ramah lingkungan.

Contoh lainnya, perbandingan antara kendaraan listrik yang membutuhkan lebih banyak mineral dibandingkan dengan kendaraan konvensional atau pembangkit listrik tenaga angin lepas pantai yang memerlukan ketersediaan tembaga dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan pembangkit listrik tenaga gas.

Hal ini mencerminkan dampak inflasi hijau yang disebabkan oleh permintaan yang meningkat untuk logam-logam tersebut dalam konteks teknologi berkelanjutan. Kenaikan harga logam dasar dan mineral ini terjadi karena tingginya permintaan yang tidak diimbangi dengan peningkatan pasokan yang memadai.

Dalam upaya untuk meningkatkan pasokan, seringkali diperlukan waktu yang cukup lama, yakni antara lima hingga sepuluh tahun untuk mengembangkan tambang baru. Sebagai contoh, terdapat lonjakan harga yang signifikan pada litium, dengan kenaikan sebanyak 1.000 persen antara tahun 2020 dan 2022.

Greenflation di Indonesia

Saat ini, Indonesia sedang aktif mendorong transisi ke arah keberlanjutan, sejalan dengan target mencapai emisi bersih pada tahun 2060. Salah satu fokus utama dalam upaya ini adalah meningkatkan pemanfaatan sumber energi berkelanjutan.

Program unggulannya melibatkan penghentian penggunaan pembangkit listrik berbahan bakar fosil dan penggantian mereka dengan pembangkit listrik yang berbasis sumber energi hijau, seperti pembangkit listrik tenaga surya.

Isu greenflation di Indonesia menjadi relevan karena penggunaan energi hijau dapat berdampak pada inflasi, terutama melalui kenaikan harga bahan bakar fosil sebagai bagian dari upaya untuk mengurangi penggunaan bahan bakar berbasis fosil.

Pada tahun 2023, Prancis mengalami periode greenflation yang signifikan yang memicu demonstrasi besar-besaran oleh kaum Rompi Kuning terhadap Presiden Macron. Demonstrasi ini berlangsung selama tiga minggu dan dipicu oleh sistem perpajakan yang dianggap memberatkan dan tidak sebanding dengan peningkatan taraf hidup masyarakat.

Di Indonesia, greenflation juga terjadi, tetapi lebih terfokus pada masalah komoditas hijau seperti pangan. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, faktor utama yang menyebabkan tingginya tingkat inflasi di Indonesia adalah beras, cabai merah, dan rokok kretek, masing-masing berkontribusi sebanyak 0,53 persen, 0,24 persen, dan 0,17 persen terhadap tingkat inflasi.

Faktor lain yang signifikan melibatkan emas dan perhiasan sebesar 0,11 persen, serta cabai rawit sebesar 0,10 persen. Tingginya inflasi bahan pangan hingga 6,73 persen juga disebabkan oleh tantangan berat dari El-Nino yang berkepanjangan dalam sektor pertanian Indonesia selama tahun 2023. Semua ini menjadi sorotan utama karena Indonesia berkomitmen pada transisi hijau, dan greenflation menjadi fokus utama kebijakan di masa mendatang.