
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto di Kebagusan, Jakarta Selatan. Foto M Julnis Firmansyah
Jakarta, tvrijakartanews.com – Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto menduga adanya upaya membungkam kecurangan dalam Pemilu 2024. Upaya itu antara lain melalui kembali diungkitnya kasus Harun Masiku dan dilaporkannya calon presiden (Capres) Ganjar Pranowo oleh Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Ini terjadi bagi mereka yang bersikap kritis, digunakan berbagai instrumen hukum termasuk Ganjar dengan pengajuan dugaan yang dicari-cari terkait penyalahgunaan kewenangan, dan ini memiliki afiliasi dengan PSI,” kata Hasto, Senin, 18 Maret 2024.
Ganjar, kata Hasto, adalah sosok yang pertama menggaungkan pengguliran hak angket untuk menyelidiki dugaan kecurangan pada Pilpres 2004. Tak lama setelah itu, Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso ke KPK melaporkan dugaan penerimaan gratifikasi saat Ganjar menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah (Jateng) dari perusahaan asuransi yang memberikan jaminan kredit kepada kreditur Bank Jateng.
Hasto mengatakan Sugeng merupakan Ketua DPD Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kota Bogor, Jawa Barat. Selain itu, lanjut Hasto, intimidasi kepada dirinya ini juga muncul saat akan mengungkap kecurangan Pemilu 2009.
Harun merupakan mantan kader PDI Perjuangan yang menjadi buron kasus dugaan suap mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan. Dia ditetapkan sebagai tersangka atas kasus tersebut sejak 2020 bersama dengan 3 orang lainnya. Namun, hingga saat ini, Masiku tak kunjung ditangkap.
KPK memasukkan nama Harun ke dalam daftar buronan pada 29 Januari 2020, kemudian pada 30 Juli 2021, namanya masuk ke dalam daftar buronan dunia dan masuk dalam daftar Red Notice Polisi Internasional (Interpol).
Dalam kesempatan itu, Hasto mengungkapkan Harun merupakan korban karena memiliki hak konstitusi berdasarkan keputusan Mahkamah Agung (MA). Berdasarkan putusan itu, Harun seharusnya mendapat pelimpahan suara dari PDI Perjuangan berdasarkan kebijakan partai karena ada caleg terpilih yang saat itu meninggal dunia.
Dalam proses itu, kata dia, ada tekanan dari oknum KPU yang meminta imbalan dan dia tergoda memberikannya, sehingga digolongkan sebagai suap.
“Tetapi sebenarnya kasus itu proses untuk mengaitkan dengan saya, padahal sudah ada tiga orang yang menjalani hukuman tindak pidana, tetapi sebenarnya diawali kompleksitas pemilu, sehingga mereka yang memiliki kebenaran secara hukum pun masih bisa diperas agar menjadi anggota legislatif,” tutur Hasto.
Menurut Hasto, ketika mendengar di pengadilan ada bukti untuk memberikan dana kepada oknum KPU, dirinya menegur keras anggota PDI Perjuangan itu karena melakukan hal yang bisa dikategorikan tindak penyuapan.
“Ini terbukti kasus Harun Masiku adalah upaya mencari kelemahan diri saya sebagai Sekjen dan upaya menggunakan instrumen hukum untuk menargetkan saya. Saya sudah menjelaskan di pengadilan dan tidak ditemukan fakta yang berkaitan dengan saya,” bebernya.
Namun, kasus Harun menjadi ‘musim’ karena dirinya mempersoalkan dugaan kecurangan Pemilu 2024, mengkritisi Presiden Jokowi dan gerbong parpol pengusung paslon nomor 02, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Hasto menekankan kasus Harun tidak menyurutkan semangat untuk tetap mengkritisi pemilu. Sebab, kata dia, sikap kritis adalah hal biasa dan sesuai jati diri PDI Perjuangan.
Terlebih, dugaan kecurangan pemilu dilakukan dengan pembungkaman suara rakyat melalui operasi politik dari hulu ke hilir yang diawali rekayasa hukum di Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan MK Nomor 90/2023, yang memberi karpet merah bagi putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka untuk maju menjadi cawapres pada Pilpres 2024, meskipun usianya belum memenuhi syarat minimal Capres dan Cawapres yakni 40 tahun.
“Saya menunjukkan tanggung jawab tidak hanya sebagai Sekjen tetapi juga sebagai warga negara Indonesia yang punya komitmen menjaga demokrasi. Jika kecurangan massif dari hulu ke hilir dibiarkan, penggunaan instrumen kita biarkan, abuse of power dari presiden kita biarkan, maka ke depan tidak ada pemilu, sama dengan zaman Orde Baru dulu,” kata Hasto.

