
Mantan cawapres nomor urut 03, Mahfud MD. Foto Istimewa
Jakarta, tvrijakartanews.com - Pakar hukum tata negara, Mahfud MD menceritakan alasannya pernah menolak Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Mantan cawapres nomor urut 03 itu menolak revisi tersebut saat maish menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan atau Menko Polhukam.
Menurut Mahfud, saat itu dirinya menyatakan menolak lantaran menilai revisi UU tersebut terrasa aneh. Ia berpendapat revisi terhadap UU MK berpotensi mengganggu independensi hakim, khususnya yang berhubungan dengan aturan peralihan.
"Itu juga sebabnya saya menolak, ini mengganggu independensi. Kenapa? Orang ini secara halus ditakut-takuti, kamu ini diganti loh, dikonfirmasi, tanggal sekian dijawab tidak, berhenti, habis kamu sebagai hakim. Jadi, independensinya sudah mulai disandera, menurut saya," kata Mahfud dalam keterangannya, Rabu, 15 April 2024.
Mantan Hakim MK itu menceritakan proses ditolaknya revisi UU MK. Pada 2020, ia bercerita memang sudah coba dilakukan perubahan terhadap UU MK, yang disebut Menkumham, Yasonna Laoly, sudah disepakati sebelum Mahfud menjadi Menko Polhukam. Namun ternyata, upaya-upaya itu masih belum berhenti karena pada 2022 lalu secara tiba-tiba muncul lagi usulan untuk perubahan terhadap UU MK.
Padahal, Mahfud menekankan, usulan revisi UU MK itu tidak pernah ada di Program Legislasi Nasional Prioritas (Prolegnas).
"Saya kaget, saya tanya lagi ke Pak Yasonna. Pak, ini kok ada UU belum ada di Prolegnas, sudah Pak, disepakati baru ini tambahan di Prolegnas untuk direvisi. Kok mendadak, saya bilang, iya ini DPR memutuskan begitu, dan sudah dibicarakan mungkin secara diam diam, begitu," ujar Mahfud.
Akhirnya, Mahfud tetap menegaskan kalau revisi terhadap UU MK tidak benar karena ada tendensi untuk memberhentikan hakim-hakim tertentu di tengah jalan. Oleh karena itu, Mahfud menyampaikan kepada Mensesneg Pratikno untuk turun langsung mengikuti rapat bersama DPR RI membahas ini.
"Oleh sebab itu, DPR waktu itu, kebetulan saya yang pesan ke Pak Pratik, Pak kayaknya UU ini saya perlu turun sendiri ke DPR, kan bisa, oh iya bisa kata Pak Pratik, sudah nanti Pak Mahfud saja yang mewakili ke DPR bersama Pak Yasonna," kata Mahfud.
Mahfud menilai sekalipun UU tersebut bertujuan baik, namun tidak boleh berlaku untuk hakim-hakim yang sekarang ada. Mereka harus dibiarkan sampai habis masa jabatannya hingga penggantian, baru revisi UU tersebut berlaku. Tapi ternyata, Mahfud menyebut saat itu DPR tidak mau karena mereka ingin hakim-hakim langsung diganti.
"DPR tidak mau, pokoknya langsung, begitu UU ditetapkan hakim yang tidak yang belum 10 tahun tapi sudah di atas lima tahun dikonfirmasi lagi. Wah, saya bilang ini tidak benar, dalam ilmu hukum ini keliru saya bilang, akhirnya apa, dead lock kan saja saya bilang, maka dead lock, selama saya jadi Menko," ujar Mahfud.
Ia merasa RUU MK yang diusulkan bisa menakut-nakuti hakim MK yang kini ada, ditambah saat itu sudah mendekati kontestasi politik pemilihan umum. Meski begitu, Mahfud menegaskan tidak bisa menghalangi pihak yang kini menginginkan revisi terhadap UU MK.
"Sekarang sesudah saya pergi tiba-tiba disahkan, ya saya tidak bisa menghalangi siapa siapa, tapi itu ceritanya, saya pernah dead lock kan UU itu, sekarang disahkan. Isinya tetap, seperti yang saya tolak itu, tapi menurut saya ya, ya sudah saya tidak bisa menghalangi," kata Mahfud.
Mahfud menduga ada beberapa kemungkinan sikap yang akan diambil pemerintah soal ini. Seperti pemerintah meminta Ketua MK mengirim surat konfirmasi hakim-hakim yang diperpanjang atau membiarkan hakim-hakim yang mendekati pensiun menyelesaikan masa jabatan.
Namun, Ketua MK periode 2008-2013 itu merasa revisi UU MK merupakan langkah memuluskan jalan politik pihak-pihak tertentu. Apalagi, dalam beberapa waktu terakhir berhembus kabar tentang desentralisasi yang dilakukan secara diam-diam dan secara halus.
"Akhirnya semua ada di satu tangan, nanti ada re-calling, independensinya dibatasi. Salah satunya recall saja, minta konfirmasi saja, tapi yang lebih keras lagi, sebelum dibahas, ada di RUU, bahwa DPR bisa atau lembaga yang mengusulkan bisa menarik, itu re-calling yang asal, ini tidak, diminta konfirmasi bukan ditarik," ujar Mahfud.
Oleh karena itu, ia mengingatkan mantan-mantan Ketua MK dan hakim MK sudah pernah bertemu untuk membahasnya. Mahfud menyampaikan tokoh-tokoh seperti Jimly Asshiddiqie, Hamdan Zoelva, Haryono, dan lainnya sepakat bahwa independensi hakim tidak boleh diganggu.
Sebelumnya, DPR dan pemerintah disebut diam-diam menyepakati revisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2023 tentang MK dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan. Wakil Ketua Komisi III DPR Adies Kadir memimpin rapat kesepakatan revisi UU MK dibawa ke paripurna. Adies telah meminta persetujuan dari para Anggota Komisi III dan Menko Polhukam Hadi Tjahjanto.
"Atas nama pemerintah, kami menerima hasil pembahasan Revisi UU di tingkat Panitia Kerja (Panja), yang menjadi dasar pembicaraan atau pengambilan keputusan tingkat I pada hari ini. Pemerintah sepakat untuk dapat meneruskan pembicaraan dan pengambilan keputusan tingkat II terhadap Revisi UU Mahkamah Konstitusi di Sidang Paripurna DPR-RI,” kata Hadi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, dikutip melalui keterangan tertulis, Senin, 13 Mei 2024.