Mahfud MD Kritik Revisi UU Penyiaran yang Larang Media Lakukan Liputan Investigasi
Cerdas MemilihNewsHot
Redaktur: TVRI Jakarta Portal Team

Mantan cawapres nomor urut 03, Mahfud MD. Foto Istimewa

Jakarta, tvrijakartanews.com - Pakar hukum tata negara, Mahfud MD, mengkritik revisi Undang-Undang (UU) Penyiaran yang berpotensi melarang media melakukan peliputan investigasi. Ia berpendapat hal itu merupakan satu kekeliruan karena tugas jurnalis justru melakukan investigasi.

Menurut dia sebuah media akan menjadi hebat jika memiliki jurnalis yang bisa melakukan investigasi.

"Kalau itu sangat keblinger, masa media tidak boleh investigasi, tugas media itu ya investigasi hal-hal yang tidak diketahui orang. Dia akan menjadi hebat media itu kalau punya wartawan yang bisa melakukan investigasi mendalam dengan berani," kata Mahfud dalam keterangannya, Rabu, 15 Mei 2024.

Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan atau Menko Polhukam periode 2019-2023 itu menilai larangan jurnalis melakukan investigasi dan melarang media menyiarkan produk investigasi sama saja melarang orang melakukan riset. Mahfud merasa keduanya sama walaupun berbeda keperluan.

"Masa media tidak boleh investigasi, sama saja itu dengan melarang orang riset. Ya kan cuma ini keperluan media, yang satu keperluan ilmu pengetahuan, teknologi. Oleh sebab itu, harus kita protes, harus kita protes, masa media tidak boleh investigasi," ujar Mahfud.

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2008-2013 itu menyebut konsep hukum politik di Indonesia semakin tidak jelas dan tidak utuh. Sehingga, pesanan-pesanan terhadap produk Undang-Undang (UU) yang bergulir hanya kepada yang teknis.

Padahal, ia menuturkan, jika ingin politik hukum membaik harusnya ada semacam sinkronisasi dari UU Penyiaran. Artinya, kehadiran UU Penyiaran harus bisa saling mendukung dengan UU Pers serta UU Pidana, bukan dipetik berdasar kepentingan saja.

"Kembali, bagaimana political will kita, atau lebih tinggi lagi moral dan etika kita dalam berbangsa dan bernegara, atau kalau lebih tinggi lagi kalau orang beriman, bagaimana kita beragama, menggunakan agama itu untuk kebaikan, bernegara dan berbangsa," kata Mahfud.

Ditolak Dewan Pers

Sementara itu, Dewan Pers menolak proses RUU Penyiaran yang sedang bergulir di badan legislasi DPR RI. Sebab, RUU itu dianggap menghilangkan hak kebebasan pers.

"RUU Penyiaran ini menjadi salah satu sebab pers kita tidak merdeka tidak independen dan tidak akan melahirkan karya jurnalistik yang berkualitas," kata Ketua Umum Dewan Pers , Ninik Rahayu saat jumpa pers di gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, Selasa, 14 Mei 2024.

Ninik menjelaskan ada beberapa unsur yang menyebabkan RUU tersebut menghambat kebebasan pers, khususnya di dunia penyiaran. Pertama, lanjut dia, RUU ini menghambat insan pers Indonesia melahirkan karya jurnalistik terbaik lantaran adanya larangan membuat liputan yang bersifat investigatif.

"Ada pasal yang memberikan larangan pada media investigatif, ini sangat bertentangan dengan mandat yang ada dalam UU nomor 40 tahun 199 pasal 4. Karena kita sebetulnya dengan UU 40 tidak lagi mengenal penyensoran," kata Ninik.

Kedua, penyusuran RUU ini dinilai tidak melalui prosedur yang layak karena tidak melibatkan masyarakat untuk memberikan pendapat. Bahkan Dewan Pers merasa tidak dilibatkan dalam pembentukan RUU ini. Ketiga, kata dia, RUU ini membuat lembaga KPI mempunyai wewenang untuk menyelesaikan sengketa yang berurusan dengan pelanggaran pers di bidang penyiaran.

Menurut dia hal itu membuat kesan tumpang tindih kewenangan. Sebab, polemik dan sengketa yang berhubungan dengan pers seharusnya diselesaikan oleh Dewan Pers.

Hal tersebut juga, lanjut Nanik, bersebrangan dengan "ruh" dari Perpres nomor 32 tahun 2024 yang baru saja diteken Presiden Joko Widodo. Perpres ini mengatur soal tanggung jawab perusahaan platform digital dalam penyediaan berita jurnalisme yang berkualitas di Indonesia.

"Mandat penyelesaian karya jurnalistik itu ada di dewan pers, dan itu dituangkan dalam UU. oleh karena itu penolakan ini didasarkan juga, bahwa ketika menyusun peraturan perundang-undangan perlu dilakukan proses harmonisasi agar antara satu UU dengan yang lain tidak tumpang tindih," kata Ninik.

Jika RUU penyiaran ini terus bergulir dan akhirnya disahkan legislatif, Ninik melihat ada potensi media di Indonesia tidak akan kredibel dan independen dalam mengawal sebuah isu.

Karenanya, Ninik dan seluruh jajaran persatuan wartawan yang mewakili setiap paltform menolak keras bergulirnya RUU Penyiaran ini.