
Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD. Foto Istimewa
Jakarta, tvrijakartanews - Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menilai hukum di negara ini sudah dirusak karena dijalankan dengan keliru.
Penyataan itu disampaikan Mahfud MD dalam menanggapi putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengubah syarat usia calon kepala daerah 30 tahun saat mendaftar menjadi ketika dilantik.
"Orang yang mengerti ilmu, belajar sedikit saja ilmu perundang-undangan sudah pasti tau jawabannya. (Karena) negara ini cara berhukumnya udah rusak dan dirusak, sehingga saya malas bicara yang kayak gitu-gitu," kata Mahfud dalam program "Terus Terang" dikutip melalui kanal YouTube Mahfud MD Official, Rabu (5/6/2024).
Meski begitu, Mahfud mempersilahkan, para penguasa mengutak-atik hukum di Indonesia agar kerusakannya semakin parah. Namun, ia mengingatkan, suatu saat nanti kerusakan dalam penerapan hukum itu bisa saja menjadi bumerang.
"Biar aja tambah busuk, pada akhirnya ke busukan itu akan runtuh sendiri kan suatu saat. Kalau yang begini-gini, terus-terusan ya sudah, silakan aja apa yang mau kau lakukan, lakukan aja mumpung Anda masih punya posisi untuk melakukan itu," ucap Mahfud.
"Tapi, suatu saat itu bisa akan memukul dirinya sendiri ketika orang lain menggunakan cara yang sama. Ya yang juga untuk melawan kepentingan orang yang suka begitu," sambung dia.
Bagi Mahfud, putusan MA yang mengubah syarat usia kepala daerah menjadi 30 tahun ketika dilantik merupakan putusan yang salah. Sebab, MA memutuskan atau membatalkan satu isi peraturan KPU yang sudah sesuai dengan undang-undang.
"Menurut saya putusan MA ini salah, kenapa? dia memutuskan atau membatalkan satu isi peraturan KPU yang sudah sesuai dengan undang-undang, tetapi dinyatakan bertentangan dengan undang-undang," ucap eks Hakim Konstitusi itu.
Mahfud lantas menjelaskan, KPU semula membuat aturan sesuai dengan ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.
Dalam beleidnya, KPU mengatur bahwa setiap orang berhak mencalonkan diri atau dicalonkan, sebagaimana bunyi aturan Pasal 7 Ayat 1. Lalu Ayat 2-nya, memuat sejumlah persyaratan seseorang yang ingin menjadi calon atau mencalonkan diri sebagai kepala daerah pada Pilkada.
Pada Pasal 7 Ayat 2 butir e, lanjut Mahfud, mensyaratkan seseorang yang ingin mencalonkan diri sebagai calon gubernur dan wakil gubernur, harus berusia minimal 30 tahun. Sementara, seseorang yang ingin mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota, minimal usianya 25 tahun.
Dengan demikian, Mahfud merasa heran putusan MA itu. Sebab, ia melihat tak ada aturan KPU yang bertentangan dengan Undang-Undang.
"Nah, ini tiba-tiba dibatalkan, katanya bertentangan. Lho bertentangan dengan yang mana? Kan peraturan KPU sudah benar. Oleh sebab itu, kalau memang itu mau diterima putusan Mahkamah Agung berarti dia membatalkan isi Undang-Undang," kata dia.
Padahal, lanjut Mahfud, MA tak berhak melakukan yudisial review atau membatalkan isi Undang-Undang. Dia mengatakan, isi undang-undang bisa dibatalkan melalui legislatif review, yaitu diubah oleh lembaga legislatif atau yudisial review oleh Mahkamah Konstitusi, bukan Mahkamah Agung.
"Hanya dua cara itu atau Perppu, kalau darurat," tambahnya.
Adapun, Mahkamah Agung mengabulkan gugatan yang diajukan Ketum Partai Garuda Ahmad Ridha Sabana terhadap Pasal 4 ayat 1 huruf d PKPU Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati, dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
Dalam gugatan itu, MA mengabulkan gugatan terhadap aturan bahwa usia paling rendah untuk jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur 30 tahun, dan batas usia 25 tahun untuk calon Bupati dan Wakil Bupati atau calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak penetapan pasangan calon.
Aturan yang semula usia minimal 'terhitung sejak penetapan pasangan calon' kemudian berubah menjadi 'saat pelantikan'.

