
Ilustrasi kekerasan seksual. (Foto: freepik).
Jakarta, tvrijakartanews - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendorong Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI untuk menjatuhkan sanksi yang tegas pada pelaku atas perkara tindak kekerasan seksual.
Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani mengatakan, pemberian sanksi tegas yang dimaksud adalah pemberhentian tetap. Sanksi tegas itu bisa menguatkan serta memastikan pemenuhan hak korban atas keadilan, pelindungan dan pemulihan.
"Pemberian sanksi yang tegas akan menguatkan proses pemulihan korban, meneguhkan keberanian korban-korban lain pada peristiwa serupa untuk melaporkan kasusnya, dan juga menjadi pencegah kekerasan seksual berulang," kata Andy dalam siara persnya, Kamis (6/6/2024).
Menurut Andy, menyikapi tegas DKPP ini penting dilakukan lantaran pelaporan kasus kekerasan seksual masih merupakan fenomena gunung es, yang sebenarnya lebih banyak yang tidak dilaporkan atau diadukan.
"Kita perlu mengapresiasi dan mendukung korban yang telah berani bersuara dengan merespon optimal bagi kepentingan korban,” ucap dia.
Adapun, kasus di Manggarai Barat adalah satu dari tiga kasus kekerasan seksual terhadap perempuan terkait penyelenggaraan Pemilu 2024 yang dilaporkan ke Komnas Perempuan, yakni kasus kekerasan seksual Ketua KPU Manggarai Barat Krispianus Bheda Somerpes
Pada 28 Mei lalu, Krispianus dinyatakan terbukti melakukan kekerasan seksual terhadap seorang stafnya hingga korban menderita trauma. Namun, dia hanya dikenakan sanksi pencopotan dari jabatannya tanpa dipecat oleh DKPP.
Dengan menerima pengaduan dari korban, lanjut Andy, Komnas Perempuan merujuk korban ke lembaga pendamping antara lain, LRC, KJHAM dan LBH APIK NTT.
"Dengan dukungan tersebut, korban kemudian mengadukan kekerasan seksual yang dialaminya kepada DKPP sebagai tindak pelanggaran prinsip integritas. Komnas Perempuan juga hadir sebagai pihak terkait untuk menjelaskan kebenaran pengaduan dan proses pendampingan yang dilakukan lembaga penyedia layanan," imbuh dia.
Terkini, ada pula kasus dugaan asulisa lainnya yang saat ini tengah ditangani DKPP. Kasus itu menyeret Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari karena diduga menggunakan relasi kuasa untuk berbuat dugaan asusila terhadap anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) di Eropa.
Dalam sidang perdana pada 22 Mei 2024 lalu, Hasyim membantah tuduhan terkait dugaan asusila terhadap anggota PPLN di Eropa. Menurut Hasyim, seluruh pokok perkara yang didalilkan Pengadu telah dibantahnya.
"Semua hal yang menjadi pokok perkara yang diadukan oleh pengadu maupun melalui kuasa hukumnya sudah saya jawab semua, dan kemudian pada intinya apa yang dituduhkan atau apa yang dijadikan dalil aduan kepada saya, saya bantah semua," ujar Hasyim kepada wartawan selepas menjalani sidang perdana di DKPP, Rabu malam.
Hasyim menilai, seluruh poin dalam pokok perkara yang didalilkan Pemohon tak sesuai fakta yang sebenarnya. Kendati begitu, Hasyim enggan menjelaskan secara terperinci perihal dalil-dalil pengaduan yang dibantahnya lantaran perkara dugaan asusila tak elok diungkapkan ke publik.
Karena itulah, Hasyim pun mempersoalkan pemberitaan media yang sumber reportasenya diyakini berasal dari Pihak Pengadu. Padahal perkaranya saja belum disidangkan DKPP.
"Saya terus terang saja merasa dirugikan. Karena apa? hal-hal itu kan belum kejadian untuk dijadikan bahan aduan di DKPP, artinya persidangannya belum ada," imbuh dia.
Adapun dalam aduannya, Hasyim disebut menggunakan relasi kuasa untuk mendekati, merayu dan berbuat asusila terhadap salah satu anggota PPLN di Eropa.
Kuasa hukum korban sekaligus pengadu, Maria Dianita Prosperiani mengatakan, peristiwa itu terjadi sepanjang Agustus 2023 hingga Maret 2024.
"Tindakan pelanggaran kode etik oleh Ketua KPU dilakukan dengan cara mendekati, merayu sampai melakukan perbuatan asusila kepada klien kami anggota PPLN yang memiliki hubungan pekerjaan dengan Ketua KPU," kata Maria di Kantor DKPP, Jakarta Pusat, Kamis.
Menurut Maria, perbuatan Hasyim itu telah melanggar sumpah atau janji sebagai anggota KPU yang berintegritas dan profesionalitas.
Sebab, Hasyim diduga telah menggunakan relasi kuasa untuk tujuan nafsu pribadinya di antaranya, menyalahgunakan jabatan dan kewenangannya dengan memakai berbagai fasilitas kedinasan dan selalu mengasosiasikan dirinya dengan kekuasaan.
"Terjadi relasi kuasa oleh Ketua KPU kepada klien kami yang merupakan jajaran pelaksana pemilu di luar negeri. Selain itu, ketua KPU juga memberikan janji-janji serta melakukan berbagai manipulasi informasi untuk dapat merayu klien kami demi memenuhi nafsu pribadinya," ucap Maria.
Di satu sisi, Maria menekankan tak ada motif politik dalam melayangkan aduan ke DKPP tersebut. Ia menegaskan bahwa aduan ini dilakukan demi memperjuangan harkat dan martabat perempuan.
"Pengaduan ini semata-mata adalah demi memperjuangkan harkat dan martabat perempuan, menjaga kredibilitas KPU sebagai lembaga negara pengawal demokrasi Indonesia dan mendorong terwujudnya pemilu yang jujur adil tanpa kekerasan berbasis gender," imbuh dia.