Maraknya Kasus Kekerasan Seksual di Internal Penyelenggara Pemilu, Komnas Perempuan Bakal Rampungkan Nota Kesepahaman dengan Bawaslu
NewsHot
Redaktur: TVRI Jakarta Portal Team

Ilustrasi kekerasan seksual. (Foto: freepik).

Jakarta, tvrijakartanews - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) berencana melanjutkan dialog dengan institusi-institusi penyelenggaraan pemilu terkait maraknya tindak kekerasan seksual yang melibatkan internal penyelenggara pemilu.

Menurut Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani, pihaknya saat ini tengah berupaya merampungkan nota kesepahaman dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

“Saat ini kami sedang dalam proses merampungkan nota kesepahaman dengan Bawaslu. Salah satu aspek kerjasama adalah dalam pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual," kata Andy dalam siara persnya, Kamis (6/6/2024).

Menurut dia, Komnas Perempuan juga akan memantau kasus-kasus yang sedang berproses, termasuk pengaduan dugaan kekerasan seksual oleh Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari.

Berdasarkan data DKPP pada periode 2017 – 2022, sebanyak 25 kasus kekerasan seksual telah disidangkan, dengan 23 di antaranya diputuskan dengan penghentian tetap.

Andy mengatakan, kekerasan seksual pada situasi ini dapat dikategorikan sebagai kekerasan dalam pemilihan umum (violence against women in election) yang hadir dalam banyak bentuk, mulai dari kekerasan fisik, seksual, pembatasan hak dan gerak perempuan dalam politik, hingga pemecatan kandidat perempuan.

Para perempuan yang berpotensi menjadi sasaran kekerasan seksual adalah politisi dan kandidat perempuan dalam pemilu, perempuan yang mendukung atau juru kampanye kandidat tertentu dalam Pemilu dan Perempuan Pembela HAM. Kemudian, perempuan tenaga administrasi dalam pelaksanaan Pemilu, jurnalis perempuan yang meliput pelaksanaan Pemilu dan perempuan yang tengah menjabat sebagai Pejabat Publik.

Berkaca pada kekhasan pengalaman kekerasan seksual, Andy mengusulkan tata cara pemeriksaan DKPP perlu disinkronisasi dengan UU TPKS. Lalu, Majelis DKPP perlu memastikan dalam memeriksa Saksi dan/atau Korban menjunjung tinggi hak asasi manusia, kehormatan, dan martabatnya tanpa intimidasi, tidak menjustifikasi kesalahan, cara hidup, dan kesusilaan, termasuk pengalaman seksual dengan pertanyaan yang bersifat menjerat atau yang tidak berhubungan dengan kasus yang dilaporkan.

“DKPP juga perlu mengupayakan penyediaan fasilitas dan pelindungan yang dibutuhkan agar saksi atau korban dapat memberikan kesaksian secara bebas, dan tidak menimbulkan trauma berulang. Tidak kalah penting putusan atau penetapan wajib merahasiakan identitas saksi dan/atau korban dan mempertimbangkan pemulihan korban dalam putusannya,” ujar Komisioner Komnas Perempuan, Dewi Kanti.

Adapun, kasus di Manggarai Barat adalah satu dari tiga kasus kekerasan seksual terhadap perempuan terkait penyelenggaraan Pemilu 2024 yang dilaporkan ke Komnas Perempuan, yakni kasus kekerasan seksual Ketua KPU Manggarai Barat Krispianus Bheda Somerpes

Pada 28 Mei lalu, Krispianus dinyatakan terbukti melakukan kekerasan seksual terhadap seorang stafnya hingga korban menderita trauma. Namun, dia hanya dikenakan sanksi pencopotan dari jabatannya tanpa dipecat oleh DKPP.

Dengan menerima pengaduan dari korban, lanjut Andy, Komnas Perempuan merujuk korban ke lembaga pendamping antara lain, LRC, KJHAM dan LBH APIK NTT.

"Dengan dukungan tersebut, korban kemudian mengadukan kekerasan seksual yang dialaminya kepada DKPP sebagai tindak pelanggaran prinsip integritas. Komnas Perempuan juga hadir sebagai pihak terkait untuk menjelaskan kebenaran pengaduan dan proses pendampingan yang dilakukan lembaga penyedia layanan," imbuh Andy.

Terkini, ada pula kasus dugaan asulisa lainnya yang saat ini tengah ditangani DKPP. Kasus itu menyeret Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari karena diduga menggunakan relasi kuasa untuk berbuat dugaan asusila terhadap anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) di Eropa.

Dalam aduannya, Hasyim disebut menggunakan relasi kuasa untuk mendekati, merayu dan berbuat asusila terhadap salah satu anggota PPLN di Eropa.

Kuasa hukum korban sekaligus pengadu, Maria Dianita Prosperiani mengatakan, peristiwa itu terjadi sepanjang Agustus 2023 hingga Maret 2024.

"Tindakan pelanggaran kode etik oleh Ketua KPU dilakukan dengan cara mendekati, merayu sampai melakukan perbuatan asusila kepada klien kami anggota PPLN yang memiliki hubungan pekerjaan dengan Ketua KPU," kata Maria di Kantor DKPP, Jakarta Pusat, Kamis.

Menurut Maria, perbuatan Hasyim itu telah melanggar sumpah atau janji sebagai anggota KPU yang berintegritas dan profesionalitas.

Sebab, Hasyim diduga telah menggunakan relasi kuasa untuk tujuan nafsu pribadinya di antaranya, menyalahgunakan jabatan dan kewenangannya dengan memakai berbagai fasilitas kedinasan dan selalu mengasosiasikan dirinya dengan kekuasaan.

"Terjadi relasi kuasa oleh Ketua KPU kepada klien kami yang merupakan jajaran pelaksana pemilu di luar negeri. Selain itu, ketua KPU juga memberikan janji-janji serta melakukan berbagai manipulasi informasi untuk dapat merayu klien kami demi memenuhi nafsu pribadinya," ucap Maria.

Namun, pada sidang perdana pada 22 Mei 2024 lalu, Hasyim membantah tuduhan terkait dugaan asusila terhadap anggota PPLN di Eropa. Menurut Hasyim, seluruh pokok perkara yang didalilkan Pengadu telah dibantahnya.

Sebab, dia menilai, seluruh poin dalam pokok perkara yang didalilkan Pemohon tak sesuai fakta yang sebenarnya. Kendati begitu, Hasyim enggan menjelaskan secara terperinci perihal dalil-dalil pengaduan yang dibantahnya lantaran perkara dugaan asusila tak elok diungkapkan ke publik.

Karena itulah, Hasyim pun mempersoalkan pemberitaan media yang sumber reportasenya diyakini berasal dari Pihak Pengadu. Padahal perkaranya saja belum disidangkan DKPP.

"Saya terus terang saja merasa dirugikan. Karena apa? hal-hal itu kan belum kejadian untuk dijadikan bahan aduan di DKPP, artinya persidangannya belum ada," imbuh dia.