Rupiah Merangkak Naik 67,5 Poin pada Penutupan Perdagangan
EkonomiNewsHot
Redaktur: TVRI Jakarta Portal Team

Ilustrasi rupiah. (Tvrijakartanews/ John Abimanyu)

Jakarta, tvrijakartanews - Nilai tukar rupiah merangkak naik mencapai 67,5 poin atau 0,42 persen terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Penguatan rupiah dipicu sentimen terhadap aset-aset berbasis risiko membaik minggu ini menyusul penurunan suku bunga Bank Sentral Eropa dan Bank Sentral Kanada.

Dikutip data Bloomberg, rupiah mengalami penguatan 67,5 poin atau setara 0,42 persen di level Rp16.195 per dolar AS. Sedangkan data Yahoo Finance, rupiah diperdagangkan ke posisi Rp16.190 per USD. Gerak rupiah terpantau menguat hingga 64 poin atau setara 0,39 persen.

Direktur PT.Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan Greenback terpukul oleh lemahnya data perekonomian, terutama pada sektor tenaga kerja, yang meningkatkan ekspektasi bahwa Federal Reserve akan semakin percaya diri untuk memangkas suku bunga tahun ini.

"Pedagang terlihat secara tajam meningkatkan taruhan mereka pada pemotongan 25 basis poin pada bulan September," kata Ibrahim di Jakarta, Jumat (7/6/2024).

Ibrahim menjelaskan data tenaga kerja yang lemah juga muncul menjelang data nonfarm payrolls yang akan dirilis pada hari Jumat, yang akan menawarkan isyarat yang lebih pasti mengenai pasar tenaga kerja dan suku bunga.

"The Fed juga akan mengadakan pertemuan minggu depan dan diperkirakan akan mempertahankan suku bunga tetap stabil," ungkapnya.

Menurutnya, saat ini pasar saat tengah menunggu komentar gubernur bank sentral yang akan dijadikan sebagai patokan kedepan tentang apakah akan mempertahankan suku bunga atau menurunkan suku bunga di bulan september.

Di Asia, Rilis data perdagangan Tiongkok diluar dugaan mengalami perbaikan. Ekspor Tiongkok tumbuh lebih besar dari perkiraan pada bulan Mei, didukung oleh kuatnya produksi industri dan permintaan luar negeri.

"Hal ini menyebabkan neraca perdagangan negara tersebut juga mencatat surplus yang lebih besar dari perkiraan," ungkapnya.

Namun pertumbuhan impor Tiongkok jauh lebih lambat dari perkiraan, hal ini menunjukkan bahwa permintaan lokal masih lemah karena perekonomian secara luas bergulat dengan pemulihan ekonomi yang tidak merata.

"Sentimen terhadap Tiongkok telah memburuk dalam beberapa pekan terakhir di tengah meningkatnya keraguan atas pemulihan ekonomi di negara tersebut dan langkah-langkah stimulus yang lebih banyak dari Beijing," imbuhnya.