
. Mahkamah Rakyat Luar Biasa. Foto Istimewa
Jakarta, tvrijakartanews - Istana Kepresidenan merespons soal Mahkamah Rakyat Nawadosa yang mengadili Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Menurut Ari, kritik dari Mahkamah Rakyat Luar Biasa tersebut tidak sejalan dengan hasil survei kinerja pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin yang mencapai tingkat kepuasan publik sebesar 75,6 persen.
"Sebagaimana hasil survei lembaga-lembaga yang kredibel, misalnya, Litbang Kompas yang baru saja menunjukkan tingkat kepuasan pada kinerja Pemerintahan Jokowi mencapai 75,6 persen," kata Ari Dwipayana di Jakarta, Rabu (26/6/2024).
Meski begitu, ia mengatakan kritik terhadap Presiden Jokowi itu sebagai masukan yang konstruktif untuk memperbaiki kinerja di semua bidang pemerintahan. Ari menyebut Mahkamah Rakyat sebagai kritik yang lazim dalam negara demokrasi yang sehat.
"Yang penting kita saling menghormati perbedaan pandangan yang ada,” kata Ari.
"Pemerintah terbuka menerima kritik ataupun dukungan terhadap jalannya pemerintahan. Kritik merupakan hal yang lazim dalam negara demokrasi," imbuhnya.
Sebelumnya, Mahkamah Rakyat Luar Biasa menggelar People’s Tribunal atau Pengadilan Rakyat untuk mengadili pemerintahan Jokowi di Wisma Makara Universitas Indonesia atau UI, Depok, Jawa Barat pada Selasa (25/6). Gugatan yang mereka adili disebut sebagai sembilan dosa atau “Nawadosa” rezim Jokowi.
Dosa Jokowi yang mereka singgung di antaranya soal perampasan ruang hidup, persekusi, korupsi, militerisme dan militerisasi, komersialisasi pendidikan, kejahatan kemanusiaan dan impunitas, sistem kerja yang memiskinkan, serta pembajakan legislasi.
Sebagai pihak tergugat, Presiden Jokowi tidak hadir dalam sidang Mahkamah Rakyat yang berlangsung selama lebih dari 8 jam kemarin. Putusan sidang dibacakan hari itu juga oleh Hakim Ketua Asfinawati. Asfinawati mengatakan persidangan Mahkamah Rakyat Luar Biasa menilai bahwa Jokowi telah melanggar sumpah jabatan yang dia ucap sebelum dilantik.
Kedua, Asfinawati berujar Majelis Hakim memutuskan bahwa Presiden Jokowi terbukti memundurkan demokrasi. Antara lain mengembalikan dwifungsi TNI-Polri, melemahkan lembaga dan gerakan pemberantasan korupsi, serta memberlakukan kembali konsep domein verklaring dari masa kolonial. Konsep itu berarti tanah yang tidak bisa dibuktikan kepemilikannya dengan surat, otomatis akan menjadi tanah negara.
"Ketiga, tergugat gagal memenuhi sumpah dan kewajiban Presiden Republik Indonesia,” ucap Asfinawati. Serta keempat, bahwa Presiden Jokowi terbukti melakukan setidak-tidaknya pengkhianatan terhadap cita-cita kemerdekaan dan pendirian negara yang ada dalam pembukaan UUD 45, korupsi dalam arti luas atau terbukti melakukan perbuatan tercela.