Foto: Ritual Yadnya Kasada Suku Tengger di Gunung Bromo (reuters)
Jakarta, tvrijakartanews - Ritual Yadnya Kasada telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Suku Tengger di Gunung Bromo selama berabad-abad. Namun, cuaca yang semakin tidak menentu membuat pencarian berkah ilahi menjadi semakin penting bagi komunitas petani Hindu ini.
Suku Tengger tinggal di sejumlah desa di taman nasional di Gunung Bromo, salah satu dari beberapa gunung berapi aktif di Indonesia yang populer di kalangan wisatawan. Taman ini terletak di dekat kota Probolinggo di Jawa Timur, sekitar 800 km (500 mil) selatan Jakarta.
Masyarakat telah mengadakan festival Kasada sejak abad ke-13 Kerajaan Majapahit untuk mengungkapkan pengabdian dan rasa terima kasih mereka kepada leluhur dan dewa-dewa. Membawa barang-barang yang meliputi sayuran, buah-buahan serta kambing dan ternak lainnya, ribuan masyarakat Tengger melakukan perjalanan ke puncak Gunung Bromo setinggi 2.329 meter (7641 kaki), mengakhiri ritual mereka dengan melemparkan sesaji tersebut ke kawah gunung berapi.
Tahun ini, festival tersebut berlangsung pada tanggal 21-22 Juni dan peserta berharap festival ini dapat membantu meningkatkan penghidupan mereka. Asih, seorang petani berusia 64 tahun di desa Ngadirejo dekat Gunung Bromo, yang sama seperti kebanyakan orang Indonesia, hanya menyebut satu nama, mengatakan bahwa tahun ini dia berdoa untuk keselamatan dan kesehatan anak cucu dan agar tanaman mereka diberkati dan matang.
“Apa yang akan saya doakan di pura itu adalah agar para leluhur yang tinggal di sana mendengar dan mengabulkan (keinginan kami) demi keselamatan dan kesehatan anak cucu kami, dan agar hasil panen kami diberkati, matang, dan baik untuk persembahan kami berikutnya. Sekali lagi mohon berkahi kami dengan keselamatan dan kemudahan dalam menghadapi cuaca,” kata Asih dikutip dari reuters.
Tahun lalu, sekitar dua pertiga wilayah Indonesia termasuk seluruh Pulau Jawa mengalami musim kemarau terparah sejak tahun 2019 akibat fenomena cuaca El Nino yang berlangsung lebih lama dari biasanya dan menyebabkan kekeringan yang merugikan tanaman dan memperparah kebakaran hutan. Tahun ini, para ahli meteorologi memperkirakan akan lebih banyak hujan, namun banyak petani yang masih kesulitan.
Para petani di Gunung Bromo bergantung pada air hujan dan danau tadah hujan untuk irigasi, namun cuaca yang lebih kering telah memaksa petani salah satunya Irawan Karyoto, 56 tahun, untuk menanam bawang merah yang kurang menguntungkan dibandingkan kentang di lahan seluas 2 hektar (5 acre).
“Tahun ini musim hujan kemarin kami gagal karena kurangnya curah hujan. Tanaman kami kentang, lalu setelah musim kemarau ini saya ganti dengan daun bawang,” tuturnya.
Baik Asih maupun Irawan merupakan bagian dari prosesi masyarakat Tengger yang melakukan sembahyang di pura di kaki gunung berapi tersebut. Asih pun membawa cucunya yang berusia 5 tahun.