Soraya Jasmin Nilai Standar Penentu Hukum Sebab-Akibat Kematian Korban Dilihat dari Kausalitas Dokter
NewsHot
Redaktur: TVRI Jakarta Portal Team

Penulis Buku Penerapan Scientific evidence Pada Putusan Hakim Soraya Jasmin Haque. (Istimewa)

Jakarta, tvrijakartanews - Pembuktian kausalitas tindakan dokter masih menyisakan berbagai persoalan. Misalnya, dalam praktik hukum belum adanya standar penentuan hubungan sebab-akibat kematian korban dalam pertimbangan hakim.

"Baik antara putusan pengadilan yang satu dengan putusan pengadilan yang lain terdapat cara berbeda dalam menentukan penyebab kematian untuk melihat adanya kausalitas tindakan dokter sebagai terdakwa," kata Penulis Buku Penerapan Scientific evidence Pada Putusan Hakim Soraya Jasmin Haque dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (12/7/2024).

Soraya mengatakan munculnya perdebatan di antara hakim dalam menentukan unsur-unsur kelalaian tindakan dokter adalah penafsiran dan penerapan antara tindak pidana biasa yang diatur KUHP dan tindak pidana medik, di mana undang-undang pidana hanya menentukan tentang perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana.

Sementara, kata Soraya, penilaian sifat perbuatan melawan hukum adanya culpa lata medik harus dimulai dari akibat kematian, kemudian menilai pada tingkah laku dokter dalam mengobservasi yang patut disalahkan atau tidak disalahkan.

"Namun, yang menjadi persoalan apakah tuntutan-tuntutan dokter dibuat dengan benar? Apakah kondisi korban sesuai dengan penyebab yang dituduhkan? Apakah benar terjadi kesalahan medik oleh dokter yang menangani? Semua contoh di atas selalu melibatkan hubungan sebab-akibat antara satu kejadian dengan kejadian lain," tuturnya.

Dikatakan Soraya, untuk merumuskan fakta-fakta kematian, harus memiliki penalaran hukum (legal reasoning) yang kuat didasarkan cara berpikir yang kritis (critical thinking). Dengan berpikir kritis, maka pendapat medikolegal yang diberikan lebih terjamin dan logis.

"Oleh karena dasar keilmiahan dalam membangun argumen-argumen hukum harus didasarkan logika dan kaidah-kaidah ilmiah untuk diterapkan menjadi kerangka hukum," jelasnya.

Soraya menambahkan hal terkait ada tidaknya kausalitas perbuatan dokter harus diawali dari penilaian proses klinis di bidang medik, yang kemudian proses yuridis di bidang hukum dalam menyusun argumen yang sarat dengan hubungan kausal didukung oleh keterangan ahli forensik sebagai argumen utama (central argument).

"Ini menyangkut persoalan teknis terhadap penjernihan fakta-fakta kematian yang paling mendekati waktu kematian korban," ungkapnya.

Dia menjelaskan penyelesaian kasus yang bersifat medikolegal, sehingga pembentukan argumen yang kokoh dengan tidak mencampuradukkan kedua disiplin ilmu ke dalam analisis kasusnya, sehingga penyebab kecideraan korban sulit ditentukan.

Penetapan ukuran dan persyaratan apakah tindakan dokter telah melakukan kesalahan profesi atau tidak, sampai batas mana tindakan dokter dapat dilindungi secara hukum perlu ditelusuri mata rantai kausalitas untuk menemukan penyebab langsung (direct causation) secara argumentative dengan memahami mechanisms (logika-logika fisika, kinetika, biomekanik, fisiologi, pathogenesis, dll).

"Selanjutnya, Femporality (pentingnya urutan kejadian dan kesinambungan), dan outcome determinants (faktor penentu luaran). Di sinilah letak scientific evidence yang sering diabaikan dalam penegakan kausalitastindakan dokter," tambahnya.

Dalam ruang lingkup pembuktian hukum, sangat bergantung pada sistem yang jelas dan logis tanpa menimbulkan multi tafsir. Oleh karena analisis dalam mengungkap terjadinya tindak pidana sebagaimana memaknai fungsi Visum et Repertum (“VeR”) dalam Pasal 183 jo. 184 KUHAP untuk menemukan kebenaran materiil atas perkara sidang.

"Fungsi pemeriksaan barang bukti yang diperiksa secara scientific oleh ahli forensik menguatkan kedudukan VeR sebagai bukti permulaan yang cukup untuk kepentingan Pro Yustisia, maka perkara dokter dapat diajukan ke muka persidangan," sambungnya.

Tidak terbuktinya dakwaan perbuatan dokter, menyebabkan terdakwa harus dibebaskan, sehingga penerapan konsep scientific evidence bertujuan untuk menghindari jebakan opini-opini subjektif dari pengalaman atau pemikiran dokter yang tidak reliable dan akuntabel.

Soraya menjelaskan berkaitan dengan parameter tingkat kepastian yang dipakai pada peradilan pidana harus mencapai kepastian yang mendekati sempurna, beyond a reasonable doubt (di luar tingkat keraguan yang masuk akal) di mana alat bukti saja tidak cukup menjatuhkan pidana kepada terdakwa tanpa keyakinan dari hakim.

"Sejauh ini, penentuan kausalitas tindakan dokter belum terimplementasi dalam praktiknya, sehingga perumusan kausalitas belum memiliki kepastian hukum. Melalui tiga komponen antara scientific evidence yang diikat dengan "kepastian hukum"," paparnya.

Kemudian direkatkan dengan prinsip Ius Curia Novit merupakan adagium yang melekat pada profesi hakim merupakan representasi dari kehadiran ahli forensik dari tahap awal penuntutan dokter.

"Selanjutnya “fakta-fakta empiris” menjadi “bukti hukum” oleh para penegak hukum, yang kemudian bukti faktual tersebut menjadi dasar pemeriksaan hakim untuk menetapkan suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum.

Upaya ini dikedepankan, dalam rangka mengokohkan fungsi dan kewajiban hakim dianggap mengetahui semua hukum perkara yang diajukan kepadanya untuk menghasilkan sebuah putusan yang “lebih bernilai” dan “lebih dihormati”.